kata...
multi-dimentional energy with infinite probability

Kamis, 23 Februari 2012

Tentang Wanita

Aku menyebut diriku wanita, dan dengannya aku berbicara dalam kelembutan. Kelembutan yang sebening kabut. Menunjukkan eksistensinya dalam ruang antara ada dan tiada. Dan sayangnya, aku bukan pengecualian.

Kami adalah wanita, kami berbicara dengan rasa dan isyarat. Saling mengerti hanya lewat intuisi, tatapan, gurauan, tindakan, dan bahkan kebetulan yang absurd. Kami berbicara tentang cinta, dengan cara angin menggoyangkan bebungaan dan memudah-gerakkan sayap lebah. Kami berbicara tentang rindu, dengan cara pelangi menukik, menajamkan ironi mejikuhibiniu dalam lautan sendu abu-abu. Kami berbicara tentang kebencian, dengan cara kupu-kupu | telur | ulat | kepompong | kupu-kupu.

Wanita adalah kami. Di mana keindahan adalah naluri. Maka kami membahasakan tangis dengan rinai hujan yang menumbuhkan benih. Maka kami membahasakan luka dengan pokok-pokok pisang. Yang tumbuh, untuk berbuah, kemudian dipangkas.

Wanita adalah kami. Rasa dan isyarat adalah cara kami berbicara. Naluri kami adalah keindahan. Keindahan dalam kelembutan, yang muncul dalam dimensi kabut, antara ada dan tiada.

Aku pun adalah wanita. Yang muncul dalam dimensi kabut, antara ada dan tiada. Yang merasa, melihat, mendengar, meraba, mengecap, dan berbicara dengan mulut rasa yang sama. Dan sayangnya, aku bukan pengecualian. Aku adalah ibu, ayu, dan adik perempuan. Aku adalah wanita, melahirkan pelangi dengan hantaman ombak dan karang. Tapi aku pun membaca dan merasa dalam satu waktu. Memahami, lewat isyarat, lewat tatapan, lewat gurauan, dan bahkan kebetulan yang absurd.

Aku membaca, melihat, dan memahaminya.
Karena aku juga adalah wanita, sama sepertinya.


........... untuk ibu dan kakak perempuan yang tidak pernah benar-benar kumiliki.

Rabu, 22 Februari 2012

Senja Jingga

Senja kali itu memberi perangkap nuansa yang berbeda. Magis, dengan daya yang tidak tertolakkan, tidak juga menawarkan tempat untuk kita bersembunyi. Jingga, kataku. Keemasan, katamu.

Setelah hari-hari dalam bulan-bulan penghujan yang panjang yang mengiringi pertemuan demi pertemuan kita, jingga senja kali itu membanjir, mematahkan kerinduan akan cahaya dan simbolisme yang kita sepakati. Kali itu, aku tidak akan lagi khawatir tentang bagaimana cara kita menggambarkan warnanya. Aku biarlah kali itu kita berhenti sejenak, membiarkan senja yang menang akan perdebatan sengit kita. Memenangkan ke-multidimensian-nya dalam tatap kita masing-masing. Mengingatkan kita bahwa kita masih hidup di dunia yang sama, dunia relativitas.

Kita terdiam. Duduk diam mengagumi sapuan jingga yang membuat segala sesuatu terlihat berharga dan keemasan. Kali itu mataku merangkap menjadi cam-coder. Merekam seluruh gerakan alam, yang senada dengan indahmu. Cara dudukmu di kursi itu dan cara detik berpindah satu-satu. Senyum yang kau pahat dihatiku dan gerakan slow motion awan yang berdansa dalam cahaya. Semuanya. Selamanya tersimpan dalam mata dan ingatku, seiring dengan pertanyaan, "Jika kau lihat lagi senja jingga seperti sore ini, akankah kau ingat aku?"


*****

Dan tibalah aku pada senja yang lain di sore ini, senja jingga yang sama, masih di sudut yang sama. Mata dan ingatku masih segar menggambarkan sosokmu duduk menikmati senja bersamaku. Hembusan angin samar-samar masih menyisakan aroma parfum yang kau pakai sore itu. Namun kursi tempatmu biasa duduk telah kehilangn penghuni. Menyisakan bayangan dengan siraman jingga yang entah kenapa bukan lagi terlihat berharga, namun sendu.



Mungkin, entah dari sudut mana, senja kali ini pun tertangkap matamu.
Maka...
Masih ingatkah kau akan senja jingga dan keemasan yang kita perdebatkan?
Terlintaskah bayanganku saat jingga menyapu matamu?
Bayanganku, yang masih dengan setia memandangi kursi tempatmu biasa duduk.
Sendiri..
Belum juga mampu bergerak.